Shalat Tasbih

Masalah shalat tasbih terdapat khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama, ada yang mengatakan dalilnya maudhu’ (palsu) ada juga yang mengatakan sekedar dhaif tetapi tidak sedikit yang mengatakan shahih.

Tanpa menghilangkan rasa hormat pada ulama yang mendhaifkan hadits2 tentang sahlat tasbih, di sini ane akan berusaha mengkritisi tentang hadits sahalat tasbih.

Dari sekian banyak hadits mengenai shalat tasbih, ane hanya akan mencoba mewakilkan satu saja hadits yang berkenaan dengan shalat tasbih.. karena ane rasa ini cukup mewakili. Hadits tersebut adalah :

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abbas bin Abdil Muththalib :”Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah engkau jika aku memberimu ? Maukah engkau jika aku menyantunimu? Maukah engkau jika aku menghadiahkanmu? Maukah engkau jika aku berbuat sesuatu terhadapmu? Ada sepuluh kriteria, yang jika engkau mengerjakan hal tersebut, maka Allah akan memberikan ampunan kepadamu atas dosa-dosamu, yang pertama dan yang paling terakhir, yang sudah lama maupun yang baru, tidak sengaja maupun yang disengaja, kecil maupun besar, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Sepuluh kriteria itu adalah : Hendaklah engkau mengerjakan shalat empat rakaat ; yang pada setiap rakaat engkau membaca surat al-Fatihah dan satu surat lainnya. Dan jika engkau sudah selesai membaca di rakaat pertama sedang engkau masih dalam keadaan berdiri, hendaklah engkau mengucapkan : subhanallah, walhamdulillah, walailaha illallah, wallahu akbar (Mahasuci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Ilah (yang haq) selain Allah, dan Allah Maha Besar) sebanyak lima belas kali. Kemudian ruku, lalu egkau membacanya sepuluh kali sedang engkau dalam keadaan ruku. Lalu mengangkat kepalamu dari ruku seraya mengucapkannya sepuluh kali. Selanjutnya, turun bersujud, lalu membacanya sepuluh kali ketika dalam keadaan sujud. Setelah itu, mengangkat kepalamu dari sujud seraya mengucapkannya sepuluh kali. Kemudian bersujud lagi dan mengucapkannnya sepuluh kali. Selanjutnya, mengangkat kepalamu seraya mengucapkannya sepuluh kali. Demikian itulah tujuh puluh lima kali setiap rakaat. Dan engkau melakukan hal tersebut pada empat raka’at, jika engkau mampu mengerjakannya setiap hari satu kali, maka kerjakanlah. Dan jika engkau tidak bisa mengerjakannya setiap hari maka kerjakanlah setiap jum’at satu kali. Dan jika tidak bisa, maka kerjakanlah sekali setiap bulan. Dan jika tidak bisa, maka kerjakanlah satu kali setiap tahun. Dan jika tidak bisa juga, maka kerjakanlah satu kali selama hidupmu”

Dikeluarkan oleh Abu Daud 2/29 no.1297, Ibnu Majah 2/158-159 no.1387, Ibnu
Khuzaimah dalam Shohihnya 2/223-224 no.1216 dan Al Hakim 1/627-628 no.1233-1234, AL Baihaqy 3/51-52, Ath Thobrany 11/194-195 no.11622, Ad Daruquthny sebagaimana dalam Al Alai Al Mashnu’ah, Al Khalily dalam Al Irsyad 1/325 no.58 dan Ibnu Syahin dalam At Targhin wat Tarhib, sebagaimana dalam kitab Al Alai Al Mashnu’ah 2/39.

Yang dimasalahkan dalam sanad hadits tersebut adalah seorang yang bernama Musa bin Abdil Aziz, ada yang mendhaifkannya, tetapi coba kita menyimak apa pendapat ulama-ulama tentang beliau :

Berkata Ibnu Ma’in tentangnya : “Laa Araa bihi Ba’san” (dalam pandangan saya dia tidak apa-apa).

Berkata An Nasa’iy : “Laa ba’sa bihi” (tidak mengapa dengannya).

Imam Ibnu Hibban juga mengatakan bahwa Musa bin Abdul Aziz sebagai orang yang tsiqah (kredibel)

Imam Muslim berkomentar terhadap salah satu hadits Shalat Tasbih yang berasal dari jalur Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas ra. tersebut, dengan mengatakan:

لا يروى في هذا الحديث إسناد أحسن من هذا

“Saya tidak melihat sanad hadits yang lebih baik dari hadits ini” [Lihat at-Tarjih li Hadits Shalatit Tasbih, Muhammad Nasiruddin ad-Dimsyaqi, hal 41; al-Irsyad, al-Khalily, 1/327]

Bahkan AL-Imam Al-Buhkari meriwayatkan hadits dari beliau juga dalam kitab Adabul Mufrad. Imam Bukhari walaupun tidak menyebutkan hadits Shalat Tasbih ini dalam shahihnya, namun menyebutkannya dalam kitabnya “Qira’atul Makmum Khalfal Imam” dan mengisyaratkan keshahihannya. Siapakah yang tidak mengenal Imam Bukhari dalam masalah kehati-hatian beliau untuk memilih jalur perawi hadits..?!

Syeikh Muhammad Nasiruddin al-Albani dalam kitabnya “Shahih at-Targhib wat Tarhib” Juz I hal 425 telah menjelaskan keshahihan hadits Ibnu Abbas ra., tentang shalat tasbih ini dan menyebutkan hadits-hadits yang menjadi syawahid (pendukung) hadits tersebut. Dalam kitab tersebut beliau menulis komentar tentang hadits shalat tasbih “Dan sungguh (hadits tersebut) telah diriwayatkan dari banyak jalur, dari para sahabat.” [Shahih Targhib wa Tarhib, Muhammad Nasiruddin al-Albani, 1/277, Cet. Al-Ma’arif, Riyadh]

Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pun menjelaskan mengenai ke-shahihan hadits tentang shalat tasbih dalam kitabnya : Shohih Abu Daud hadits 1173-1174, Shohih At Tirmidzi, Shohih At Targhibwat Tarhib (1/684-686), Tahqiq Al Misyqatul Mashabih (1/1328-1329).

Dari uraian yang cukup panjang lebar mengenai salah satu hadits tentang shalat tasbih di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits shalat tasbih lebih mendekati shahih daripada tidaknya.. Adapaun jika banyak hadits tentang shalat Tasbih yang dhaif, maka dengan banyaknya jalur priwayatannya dari para shahabat, maka minimal jatuh pada tingkatan “hasan li ghairihi”..

Wallahu a’lam..

4 respons untuk ‘Shalat Tasbih

  1. vee3 berkata:

    Assalamu’alaikum pak ustadz, mf ni OOT…

    sya pgn tny mslh sholat, yaitu saat mau sujud, yg duluan sampai kesajadah / alas tu tangan atau dengkul?
    soalnya wkt saya kuliah dlu, mentor sya blg klu mw sujud tu tangan tu duluan, tp smlm wkt dgr khutbah jum’at, ustadznya blg dengkul luan… jd yg mn yg bnr?

    1x gi mf ya pak ustadz klu OOT…

    Suka

    • almubayyin berkata:

      ada perbedaan pendapat di dalam hal tersebut, masing-masing menggunakan dalil :

      Yang berpendapat turun tanganterlebih dahulu :

      إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
      “Jika salah seorang dari kamu (berkehendak) sujud, maka janganlah dia menderum sebagaimana menderumnya onta, maka hendaklah dia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (Hadits shahih riwayat Bukhori, Abu Daud, Ahmad, Nasa’i dll)

      Yang menggunakan lutut terlebih dahulu :

      رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

      “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau bersujud meletakkan kedua lutunya sebelum kedua tangannya, dan jika beliau bangkit, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (HR Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dll)
      Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Muslim” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.

      Bagi yang berpendapat bahwa yang turun terlebih dahulu tangan sebelum lutut karena mereka berpendapat hadits kedua dhaif, dan beberpa hadits yang semakna itu dhaif. Unta secara kasat mata memang turun depan terlebih dahulu, tetapi untuk ulama yang ada di pihak ini berpendapat sesuai pendapat para ahli bahasa menyebutkan bahwa rukbah (lutut) unta berada di tangannya, Adapun sendi yang berada belakang itu dinamakan ‘urqub (عرقوب). (Lihat Al-Ain 5/362, Lisanul Arab 3/ 1715, Tahdzibullughah 10/216, Al-Muhkam wal Muhith Al-A’dzom 7/15). Jadi jangan turun dengan lutut (depan) terlebih dahulu seperti unta.

      Bagi yang berpendapat bahwa yang turun terlebih dahulu lutut berpendapat, haditsnya mutawatir dengan jalur periwayatan yang banyak dan bisa saling menguatkan. Mereka mengatakan bahwa hadits Abu Hurairah tersebut terbalik karena unta turun bagian depan terlebih dahulu baru bagian belakangnya turun.

      Terlepas dari perbedaan tersebut di atas, terjadinya perbedaan pendapat di dalam masalah fiqih masih bisa ditoleransi berdasarkan dalil :

      إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ.
      “Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”.( Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy 13/268 dan Muslim no. 1716 dari hadits ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhu.)

      Sebuah keputusan dari seorang ahli ijtihad tidak dipandang sebagai sebuah dosa oleh Allah walau di antara mereka terjadi perbedaan pendapat..

      Suka

Tinggalkan Balasan ke almubayyin Batalkan balasan