MENEPIS FITNAH terhadap TSA’LABAH BIN HATHIB

 
Mukaddimah

Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian mencaci maki atau menghina para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesungguhnya kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah sesaat itu lebih baik dari amal seorang dari kalian selama 40 (empat puluh tahun)”. (Hadits Riwayat Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih. Lihat Syarah Aqidah Thahawiyah hal. 469).

Menjunjung tinggi nama baik shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan kewajiban syar’i dan merupakan tuntunan agama. Memberikan penghormatan, keridhaan, serta pujian kepada mereka adalah salah satu prinsip dasar dari prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Tulisan di bawah ini sengaja kami angkat dengan maksud untuk Meluruskan Cerita Tentang Tsa’labah bin Hathib, dimana sebagian dari kaum muslimin sering membawakan riwayat Tsa’labah untuk contoh kebakhilan, tanpa berusaha untuk merujuk atau memeriksa kembali kebenaran dari riwayat tersebut.

HADITS TSA’LABAH BIN HATHIB

“Artinya : Celaka engkau wahai Tsa’labah ! Sedikit engkau syukuri itu lebih baik dari harta banyak yang engkau tidak sanggup mensyukurinya. Apakah engkau tidak suka menjadi seperti Nabi Allah ? Demi yang diriku di tangan-Nya, seandainya aku mau gunung mengalirkan perak dan emas, niscaya akan mengalir untukku”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bawardy, Al-Baghawy, Ibnu Qani’, Ibnu Sakan, Ibnu Syahiin, Thabrany, Dailamy dan Al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul (hal. 191-192). Semua meriwayatkan dari jalan Mu’aan bin Rifa’ah As-Salamy dari Ali bin Yazid dari Al-Qasim bin Abdur Rahman dari Abu Umamah Al-Baahiliy, ia berkata : “Bahwasanya Tsa’labah bin Hathib Al-Anshary datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia berkata : ‘Ya Rasulullah, berdo’alah kepada Allah agar aku dikaruniai harta’. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “(Ia menyebutkan lafadz hadits di atas)”.

Kemudian ia berkata, demi Dzat yang mengutusmu dengan benar, seandainya engkau memohonkan kepada Allah agar aku dikaruniai harta (yang banyak) sungguh aku akan memberikan haknya (zakat/sedekah) kepada yang berhak menerimanya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a : ‘Ya Allah, karuniakanlah harta kepada Tsa’labah’.

Kemudian ia mendapatkan seekor kambing. Lalu kambing itu tumbuh beranak sebagaimana tumbuhnya ulat. Kota Madinah terasa sempit baginya. Sesudah itu, ia menjauh dari Madinah dan tinggal di satu lembah (desa). Karena kesibukannya, ia hanya berjama’ah pada shalat Dhuhur dan Ashar saja, dan tidak pada shalat-shalat lainnya. Kemudian kambing itu semakin banyak, maka mulailah ia meninggalkan shalat berjama’ah sampai shalat Jum’ah pun ia tinggalkan.

Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para shahabat : “Apa yang dilakukan Tsa’labah ?” Mereka menjawab : “Ia mendapatkan seekor kambing, lalu kambingnya bertambah banyak sehingga kota Madinah terasa sempit baginya ….” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus dua orang untuk mengambil zakatnya seraya berkata : “Pergilah kalian ke tempat Tsa’labah dan tempat fulan dari Bani Sulaiman, ambillah zakat mereka berdua”. Lalu keduanya pergi mendatangi Tsa’labah untuk meminta zakatnya. Sesampainya di sana dibacakan surat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Serta merta Tsa’labah berkata : “Apakah yang kalian minta dari saya ini pajak atau sebangsa pajak ? Aku tidak tahu apa yang sebenarnya yang kalian minta ini !.

Lalu keduanya pulang dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau melihat keduanya (pulang tidak membawa hasil), sebelum berbicara, beliau bersabda : “Celaka engkau, wahai Tsa’labah ! Lalu turun ayat :

“Artinya : Dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran)”.
(At-Taubah : 75-76).

Setelah ayat ini turun, Tsa’labah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mohon agar diterima zakatnya. Beliau langsung menjawab : “Allah telah melarangku menerima zakatmu”. Sampai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, beliau tidak mau menerima sedikitpun dari zakatnya. Dan Abu Bakar, Umar, serta Usman-pun tidak mau menerima zakatnya di masa khilafah mereka.

KOREKSI ILMIAH DERAJAT KEBENARAN RIWAYAT TERSEBUT

Hadits ini sangat Lemah Sekali.

Dalam sanad hadits ini ada dua rawi yang lemah :

1. Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik, seorang rawi yang sangat lemah.

  • Imam Al-Bukhari dalam kitabnya berkata : “Ali bin Yazid, Abu Abdil Malik Al-Alhany Ad-Dimasyqy adalah rawi munkarul hadits“. (Lihat : Adh Dhu’afaa’us Shaghiir No. 255).
  • Imam Nasa’i berkata : “Ia meriwayatkan dari Qasim (bin Abdur Rahman), ia matrukul hadits“. (Lihat : Adh-Dhua’faa wal Matrukiin No. 455).
  • Imam Daruquthny berkata : “Ia seorang matruk (yang ditinggalkan)”.
  • Imam Abu Zur’ah berkata : “Ia bukan orang yang kuat”. (Periksa : Mizanul I’tidal 3:161, Taqribut Tahdzib 2:46, Al-Jarhu wat Ta’dil 6:208, Lisanul Mizan 7 :314).

2. Mu’aan bin Rifaa’ah As-Salamy, seorang rawi yang lemah.

  • Ibnu Hajar berkata : “Ia rawi lemah dan sering memursalkan hadits“. (Periksa : Taqribut Tahdzib :258).
  • Kata Imam Adz-Dzahabi : “Ia tidak kuat haditsnya”. (Periksa Mizanul I’tidal 4:134).

Para Ulama yang melemahkan hadits-hadits ini diantaranya ialah :

  • Ibnu Hazm, ia berkata : “Riwayat ini Bathil“. (Al-Muhalla 11:207-208).
  • Al-Iraqy berkata : “Riwayat ini Dha’if“. (Lihat Takhrij Ahadist Ihya Ulumudin 3:272)
  • Ibnu Hajar Al-Asqalany berkata : “Riwayat tersebut Dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah”. (Lihat : Fathul Bari 3 :266).
  • Ibnu Hamzah menukil perkataan Baihaqi : “Dha’if“. (Lihat Al-Bayan wat Ta’rif 3:66-67).
  • Al-Manawi berkata : “Dha’if(Lihat : Faidhul Qadir 4:527).

RIWAYAT YANG BENAR

Tsa’labah bin Hathib adalah seorang shahabat yang ikut dalam perang Badar sebagaimana disebutkan oleh :

  • Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat 3:36.
  • Ibnu Abdil Barr dalam kitab Ad-Durar. halaman 122.
  • Ibnu Hazm dalam kitab Al-Muhalla 11:208
  • Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam kitab Al-Ishaabah fil Tamyiizis Shahaabah I:198

Dalam buku At-Tasfiyah wat Tarbiyah wa Atsarihima Fisti’nafil Hayat Al-Islamiyyah (hal. 28-29) oleh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsary disebutkan pembelaan terhadap shahabat Tsa’labah bin Hathib, ia berkata : “Tsa’labah bin Hathib adalah shahabat yang ikut (hadir) dalam perang Badr”.

Sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ahli Badar.

“Artinya : Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah“.
(Hadits Riwayat Ahmad 3:396).

SIKAP KITA

Sesudah kita mengetahui kelemahan riwayat ini maka tidak halal bagi kita membawakan riwayat Tsa’labah bin Hathib untuk contoh kebakhilan, karena bila kita bawakan riwayat itu berarti :

  1. Kita berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Kita menuduh shahabat ahli Surga dengan tuduhan yang jelek.
  3. Kita berdusta kepada orang yang kita sampaikan cerita tersebut kepadanya.

Ingat, kita tidak boleh sekali-kali mencela, memaki atau menuduh dengan tuduhan yang jelek kepada para shahabat Rasululluh shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau bersabda :

“Artinya : Barangsiapa mencela shahabatku, maka ia mendapat laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia”.
(Hadits Riwayat Thabrani).

Wallaahu a’lam bish shawaab.

(Yazid Abdul Qadir Jawwas)

Wasiat Para Imam Madzhab

Tentang Sikap Muslim Terhadap Pemberitaan Miring Terhadap Sahabat

Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’maan bin Tsaabit rahimahullah (wafat tahun 150 hijriyyah) :

“Kami tidak menyebut seorangpun dari Shahabat Rasul kecuali dengan kebaikan.” (Al-Fiqhu Al-Akbar, halaman 304) “kami tidak berlepas diri dari seorangpun dari shahabat Rasulullallah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kami tidak berloyalitas kepada salah seorang dari mereka tanpa yang lainnya.” (ertinya beliau memuliakan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum). (Al-fiqhu Al-Abshath, halaman 40)

“satu jam kedudukan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu lebih baik dibandingkan amalan salah seorang di antara kita dalam seluruh umurnya walaupun panjang umurnya. (Manaaqiib Abu Hanifah karya Al-Makkiy, halaman 76)

Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah (wafat tahun 179 hijriyyah) :

Abu Nu’aim meriwayatkan dari seorang dari Abdullah bin Naafi’, ia berkata: “dahulu kami bersama Malik, mereka pun menyebutkan seorang laki-laki yang merendahkan Shahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam, maka (Al-Imam Malik) membaca ayat ini: “Muhammad adalah Rasulullah dan orang-orang yang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya; tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya, karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (Al-Fath: 29), kemudian (Al-Imam) Malik berkata: “barangsiapa yang terdapat kebencian dalam hatinya terhadap salah seorang Shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguuh ayat ini telah menimpanya.”

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat 29 dalam surah Al-Fath di atas, berkata:
“dari ayat ini Al-Imam Malik mengeluarkan vonis kafir terhadap (Syi’ah) Rofidhoh yang membenci Shahabat, ia berkata; ‘karena mereka(Syi’ah Rofidhoh) membenci mereka(Shahabat), dan barangsiapa yang membenci Shahabat maka ia adalah kafir berdasarkan ayat ini’, sebagian kelompok dari kalangan ulama menyepakatinya dalam hal tersebut. Dan hadit-hadits tentang keutamaan para shahabat dan larangan menjelekkan mereka sangat banyak, maka cukuplah pujian dan keridhaan Allah atas mereka”. (Tafsir Ibnu Katsir 7/362

Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’iy rahimahullah (wafat tahun 204 hijriyyah) :

لاَ تَخُوْضَنَّ فِيْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ ، فَإِنَّ خَصْمَكَ النَّبِيُّ غَدًا
“Janganlah engkau mencela para sahabat Nabi, karena musuhmu kelak adalah Rasulullah” (Siyar A’lam Nubala 3/3283 oleh adz-Dzahabi)
“Tidaklah aku melihat orang yang tertimpa musibah berupa mencaci para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melainkan Allah akan tambahkan kepada mereka (para sahabat) pahala di saat telah terputusnya amal mereka”. Dalam sebuah riwayat dari Ar Robi’ yang maknanya “Melainkan Allah akan ganjar mereka (para sahabat) dengan kebaikan meskipun mereka telah mati”(Manaqib Imam Syafi’i hlm. 120 oleh al-Aburri dan Manaqib Syafi’i 1/441 oleh al-Baihaaqi)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah (wafat 241 hijriyyah) :

“termasuk sunnah yang terang menyebutkan semua kebaikan-kebaikan semua sahabat-sahabat Rasulullah dan menahan diri dari menyebut-nyebut kekurangan-kekurangan mereka dan mengungkit-ngungkit pertikaian yang terjadi diantara mereka. Maka siapapun yang memaki sahabat Rasulullah atau salah seorang diantara mereka atau merendahkan, melecehkan, membeberkan aib mereka atau menghujat salah seorang dari mereka adalah pembuat bid’ah (mubtadi’), tergolong Rafidhah (Syi’ah), jahat dan menentang. Allah tidak akan menerimanya sama sekali. Bahkan mencintai mereka termasuk sunnah, mendoakan mereka termasuk ibadah [QS. Al-Hasyr: 10] meneladani mereka termasuk wasilah dan berpegang teguh pada atsar (jejak) mereka adalah suatu keutamaan. Sahabat-sahabat Rasulullah adalah manusia yang terbaik yang tidak boleh menyebut kekurangan-kekurangan mereka sedikitpun dan tidak pula melecehkan salah seorang dari mereka dengan menyebutkan aib dan kekurangan mereka” [As-Sunnah: 78]

Tambahan Fatwa Ulama :

Imam Thahawi mengenai aqidah ahlusunnah wal jama’ah berkata: “kami mencintai sahabat-sahabat Rasulullah namun tidak berlebihan (dari batas syari’at) dalam mencintai salah seorang dari mereka. Kami tidak pula berlepas tangan dari salah seorang dari mereka. Tetapi kami membenci orang yang membenci mereka serta orang yang menyebut selain kebaikan mereka. Kami hanya menyebut kebaikan mereka, mencintai mereka adalah sebagian dari iman, dan ihsan, sedang membenci mereka adalah kekufuran, kemunafikan, serta kesewenang-wenangan.” [Syarh Aqidah Thahawiyah 464, Ibnu Abi Al-‘Izzin]

Demikian pula Imam ‘Ubaidilah ibn Baththah berkata: “dan setelah itu tinggalkanlah pembicaraan tentang apa yang dipertikaikan diantara sahabat-sahabat  Rasulullah itu, karena mereka telah ikut berperang dengan Nabi dalam berbagai peperangan, mereka telah mengungguli orang lain dengan keutamaan, maka Allah mengampuni mereka sedangkan kamu disuruh memohonkan ampunan buat mereka dan bertaqarrub kepada-Nya dengan mencintain para sahabat itu, Allah mewajibkan hal itu lewat sabda Nabi. Padahal Dia tahu yang akan terjadi pada sahabat-sahabat itu, termasuk peperangan yang terjadi diantara mereka. Hanya saja mereka telah diberikan keutamaan atas semua manusia lantaran Allah telah menghapus kesalahan mereka baik yang disengaja maupun tidak. Tentang perselisihan diantara mereka telah diampuni oleh Allah.” [Al-Ibanah 260]

Imam Abu ‘Utsman As-Sabuni dalam kitabnya As-Salaf wa ash-hab al-hadits (juz I / 129): “mereka (salaf assholeh) melihat harus menghentikan perbincangan tentang semua pertikaian dikalangan semua sahabat Rasul, membersihkan lidah dari menyebut aib dan kekurangan mereka yang ada pada diri mereka, sementara itu berpandangan agar menanam kasih sayang pada semua sahabat dan berpihak kepada sesama mereka.”

Imam Adz-Dzahabi berkata: “sudah seyogyanya ditekadkan menahan diri dari banyak memperbincangkan pertikaian dan perperangan yang terjadi diantara sahabat dan riwayat-riwayat itu akan terus kita lalui dalam ensiklopedia, kitab dan artikel-artikel (ajza’) yang kebanyakan munqati’ (terputus sanadnya) dan dha’if (lemah), dan sebagian lagi adalah kebohongan belaka. Jadi apa yang ada di tangan mereka dan para ulama kita seyogyanya kita lipat dan kita sembunyikan bahkan perlu disingkirkan untuk membersihkan hati serta memupuk kecintaan dan kerelaan kita terhadap para sahabat, menyembunyikan masalah ini adalah suatu kemestian bagi kalangan umum dan ulama sebagai individu memang boleh dibaca secara rahasia oleh seorang ulama yang alim, yang jujur, bersih dari hawa nafsu. [Siyar A’lam An-Nubala’ X/92]

Mereka para sahabat itu sudah menyandang penghargaan sebagai perintis. Amalan-amalannya dapat menutupi kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Jihadnya dapat menghapuskan dosa-dosanya.

 

11 respons untuk ‘MENEPIS FITNAH terhadap TSA’LABAH BIN HATHIB

  1. hadi suhaeri berkata:

    Subhanallaah …. Semoga yang menghujat sahabat Nabi lekas bertobat dan mohon ampun kepada Allah ‘Aja Wajalla
    Karena yang dia cela adalah sahabat Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam yang ahli sorga.

    Suka

    • almubayyin berkata:

      hadits dhaif untuk fadhilah amal bisa diamalkan, akan tetapi jika ternyata hadits tersebut membuat fitnah pada shahabat Rasulullah yang mulia dan dijamin masuk Syurga, itu harus dibuang..
      membuat fitnah pada manusia yang lainnya saja dilarang, apalagi fitnah pada shahabat yang mulia.. ini yang harus kita buang.. begitu..

      Suka

  2. hadianah berkata:

    Trus asbab turunnya QS. Attaubah:75-76. tetkait apa??? apakah tetap kaitannya dengan sahabat Tsa’labah tpi tdk seperti versi yang dikaburkan oleh sebagian masyarakat. mohon penjelasannya. t .kasih

    Suka

    • almubayyin berkata:

      ada beberapa kisah tentang asbabun nuzul ayat Al Quran, di antaranya ada yang shahih akan tetapi sebagiannya ada pula yang dhaif. Seperti kita menerima dalil-dalil untuk masalah yang lainnya, ada dalil yang bisa kita terima sebagai dasar sebuah hukum ada pula yang tidak.
      Begitu pula tentang asbabun nuzul sebuah ayat, ada yang bisa kita terima dan ada pula yang tidak.
      Tidak semua ayat di dalam Al Quran harus ada asbabun nuzulnya.. betul..?!

      Memang hadits dhaif menurut jumhur ulama bisa kita terima untuk masalah fadhilah amal, akan tetapi untuk masalah hukum tentu tidak bisa kita terima. Akan tetapi jika hadits dhaif itu menyangkut sebuah fitnah kepada shahabat yang mulia, sebaiknya kita tolak demi menjaga kehormatan beliau. Karena ternyata tsa’labah bin Hatim adalah seorang pejuang Islam dan merupakan salah seorang shahabat Nabi yang mulia yang dijamin masuk syurga.

      Suka

  3. Muslim Knight berkata:

    Antum Salafi, Almubayyin? (di Indonesia Salafi merujuk kepada Wahabi, semenatra maksud asli adlh yg tanpa mengurangi atau menambahi ajaran Islam, saya bertanya apakah antum Salafi Wahabi?)

    Suka

  4. Hanafi Han berkata:

    Apakah hadist tersebut tidak bisa dijadikan hukum? Kalau memang tidak bisa dijadikan hukum, apakah berarti zakat tsa’labah diterima rasulullah?dan apakah Attaubah ayat 75-76 telah direvisi rasulullah sehingga ia menerima zakat tsa’labah? saya tidak pernah melihat ayat 75-76 ini direvisi/dibatalkan oleh rasulullah (hanya untuk menghargai dan menghormati tsa’labah yang sudah insyaf). Lalu apakah cerita bahwa tsa’labah berusaha membayar zakat pada masa khalifah abubakar,umar dan usman itu dan ditolak oleh mereka hanya merupakan cerita bohong (dhoif)? Lalu mana hadist yang menyatakan tssa’labah sebagai sahabat rasul yang mulia dan masuk syurga? sebab setahu saya hadist yang menyatakan sahabat rasul adalah mereka yang mulia dan masuk syurga itu sifatnya umum dan tidak ada menyatakan bahwa sahabat itu adalah tsa’labah.
    Kalaulah dikatakan hadist ini dhoif (bohong) apakah seluruh matan hadist ini tidak bisa dipercaya alias bohong, berarti hadist ini hadist palsu bukan dhoif.

    Suka

    • almubayyin berkata:

      Di QS At Taubah tersebut tidak menyebut nama shahabat termasuk Tsa’labah, jadi tidak ada yang perlu dikoreksi karena sifatnya itu berlaku umum kepada siapa saja. Tsa’labah bukan insyaf, akan tetapi cerita tentang Tsa’labah yang tidak baik di atas itu kategori lemah di dalam periwayatannya. Padahal Tsa’labah adalah salah satu ahli perang Badar, termasuk shahabat Nabi yang mulia, yang kita tidak boleh mencelanya apalagi dengan menggunakan cerita-cerita dhoif tersebut.

      Yang berkata hadits tersebut dhoif bukan ane, akan tetapi berita dari Imam Bukhori telah mengingatkan kepada kita tentang salah satu perawi di dalam hadits tersebut yang bernama Ali bin Yazid adalah rawi munkarul hadits. Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi mengatakan dia sebagai matrukul hadits. Bukan hanya Ali bin Yazid yang dinyatakan lemah yanga da di dalam daftar perawi hadits tersebut, ada juga Mu’aan bin Rifaa’ah As-Salamy yang menurut Imam Ibnu Hajar sering memursalkan hadits.

      Nah, jika kita sudah mengetahui hadits tersebut adalah hadits yang lemah, Imam Bukhori mengatakan haidts munkar karena ada perawi yang munkarul hadits dan Imam Ibnu hajar mengatakan hadits mursal karena ada perawi yang mursal serta pendapat ulama hadits di atas, apakah kita masih hendak melanjutkan cerita yang tidak benar tentang salah seorang shahabat Nabi yang mulia dan mengikuti perang Badar tersebut..? begitu yang bisa kami jelaskan.. wallahu a’lam..

      Suka

Tinggalkan komentar