Pembahasan Hadits Tentang Niat

1. Dari Amirul mu’minin Abu Hafs yaitu Umar bin Al-khaththab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Luai bin Ghalib al-Qurasyi al-‘Adawi r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda :

Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (Muttafaq (disepakati) atas keshahihannya Hadis ini)
Diriwayatkan oleh dua orang imam ahli Hadis yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughirah bin Bardizbah Alju’fi Albukhari, – lazim disingkat dengan Bukhari saja -dan Abulhusain Muslim bin Alhajjaj bin Muslim Alqusyairi Annaisaburi, – lazim disingkat dengan Muslim saja – radhiallahu ‘anhuma dalam kedua kitab masing masing.

Keterangan:

Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat yang merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam.

Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya.

Asbabul wurud dari hadits tersebut adalah dikarenakan ada di antara para sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam saat melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, semata-mata disebabkan terpikat oleh seorang wanita yakni Ummu Qais. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam mengetahui maksud orang tersebut, lalu bersabda sebagaimana di atas. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Jadi bisa disimpulkan bahwa setiap amalan tergantung niat masing-masing yang mengerjakannya.
Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya,agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin.
Imam Syafi’i,Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah.
Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah.

Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.

Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadat serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadat bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.

Seperti halnya kisah di atas, memang yang melakukan niat mendapatkan wanita tersebut tidak berdosa, karena bukan untuk amalan-amalan yang bersifat maqshad (shalat, puasa, zakat, haji dan umrah) dan bukan pula wasilah (seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib) akan tetapi yang mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak) akan tetapi amalan tersebut kosong pahala dan kosong ridho Allah. Akan tetapi jika amalan yang bersifat mubah atau jawaz tersebut ditambahi dengan niat karena Allah subhanahu wata’ala, maka nilainya akan bertambah karena akan dinilai dan dihitung sebagai ibadah.

Pelajaran lain yang bisa kita ambil berikutnya adalah, bahwa niat letaknya ada di dalam hati. Seseorang yang berniat hijrah karena Ummu Qois, dia tidak perlu mengikrarkan niat tersebut dengan lisan tetapi hanya ada di dalam hatinya saja, maka itu sudah termasuk niat.

Dalam melakukan sebuah amalan memang tidak pernah diketahui bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan lafal niat, adapun ada beberapa pendapat dari saudara muslim kita yang mengatakan bahwa niat itu ada diucapkan dengan sebuah lafadz karena mengambil qiyas dari ucapan talbiyah umrah dan hajji saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan “..labbaika ‘umratan wa hajjan.. “.

Tetapi saudara muslim lainnya mengatakan ucapan talbiyah adalah bukan ucapan niat, karena talbiyah berasal dari kata labbaa-yulabbii-talbiyatan yang berarti memenuhi panggilan sehingga ucapannya menggunakan kata “labbaik” yang berarti pemenuhan panggilan dan ucapan ketaatan atas sebuah panggilan. Itu bukan sebuah ucapan niat, tetapi ucapan pemenuhan sebuah panggilan karena menggunakan kata “Labaik”.

Tetapi saat ini penulis tidak akan menulis tentang perbedaan dalam hal tersebut, karena itu akan melalui pembahasan tersendiri yang amat sangat panjang dan pertentangan yang tidak berkesudahan. Dalam tulisan ini penulisan hanya akan membahas tentang pentingnya “niat” dalm beramal.

Dan niat itu dilakukan di awal perbuatan, seperti halnya orang yang berhijrah di atas, dia melakukannya di awal perbuatan hijrah sehingga hijrahnya disebut hijrah karena Ummu Qois (muhajir Ummu Qois).

Akan tetapi perlu diingat, bahwa bisa juga sebuah amalan dengan niat yang benar itu dirusak ditengah2 perbuatan, awal2 amalan yang seseorang ikhlas melakukannya karena Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi di tengah2nya ada pancingan2 yang membelokkan dan merusak niat awalnya.
Misalkan seseorang yang awalnya shalat dengan niat mencari ridho Allah, tetapi di tengah2 shalat saat mengetahui ada orang banyak di sekitarnya, maka dibagus2kanlah bacaan dan dipanjang2kannya shalatnya agar dapat simpati dari manusia.
Bisa juga amalan dengan niat yang benar di awal dan di tengah2 perbuatan tersebut rusak di akhir perbuatan, yaitu dengan riya’ .. Saat di awal dan di tengah2 perbuatan memang seseorang bisa sungguh ikhlas melakukannya karena Allah subhanahu wa ta’ala tetapi setelah selesai beramal, tiba2 syaithon membujuknya agar rusaklah amal bainya tersebut.
Dirayulah kita oleh syaithon agar kita bisa memberitahu pada orang lain bahkan khalayak ramai sehingga amal baik tersebut bisa dikagumi banyak orang, serta dipuji khalayak ramai.
Misalkan seseorang yang shodaqoh ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan telah sukses dari awal perbuatan hingga akhir perbuatan tidak terkotori oleh hal2 yang merusak amalan tersebut, tetapi setelah selesai dia melakukan amal, terbujuklah dia untuk menunjukkan perbuatan baiknya tersebut pada orang banyak agar orang banyak yg kagum padanya, memujinya dengan pujian setinggi langit, maka akibatnya adalah rusaknya amalan dengan niat awal yang baik tadi.

Sehingga nasihat ulama dan orang2 bijak pada kita, agar kita selalu mengkoreksi niat kita sebelum melakukan amalan, di tengah2 melakukan amalan dan di akhir setelah selesai kita melakukan sebuah amalan.
Di awal, sudah benarkah niat kita dlm beramal..? ditengah2, meluruskan lagi niat awal kita bahwa kita melakukan ini semata2 mengharap ridho Allah.. dan di akhir perbuatan, agar jangan sampai kita berubah niat yg awalnya semata2 karena Allah kemudian berubah untuk mendapatkan pujian manusia.

Pelajaran berikutnya yang bisa kita ambil adalah, bahwa seseorang akan mendapatkan ganjaran sesuai yang diniatkannya.
Jika ingin mencari ridho Allah, maka ridho Allah yang akan didapatkan, dengan mendapatkan tambahan nilai pahala sebagai bekal kita di hari hisab kelak, saat hari perhitungan antara berat dosa dan pahala.
Jika ingin mendapat ridho seorang manusia, maka itu pula yg didapatkannya, tetapi ridho Allah tidak akan diperolehnya walau secuil.
Jika menginginkan dunia, maka hanya dunia yg akan didapatkannya, tetapi ridho Allah tidak akan dia dapatkan walau secuil pula.