Tata Cara Turun Sujud

Setelah bangun dari ruku’ maka rukun sholat selanjutnya adalah melaksanakan sujud. Ada sedikit perbedaan tentang tata cara turun untuk sujud yang sering dibicarakan, yakni apakah turun itu tangan terlebih dahulu ataukah lutut terlebih dahulu.

Untuk itu marilah kita bahas perbedaan tersebut disertai dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pendapat. Adapun tata cara yang berlaku selama ini yaitu :

1. Turun Lutut Terlebih Dahulu

Dalil yang digunakan antara lain adalah Dari Wail bin Hujr, dia berkata :

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَجَدَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya. Dan apabila bangkit dari sujud, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. (At-Tirmidziy no. 268, Abu Daud no. 838, Ibnu Maajah no. 882, An-Nasaa’iy 1154, Ibnu Hibban 1912, Ad Darimi 1286)

Dari shahabat ‘Abdullah, yaitu ‘Alqamah dan Al-Aswad, mereka berdua berkata :

حَفِظْنَا عَنْ عُمَرَ فِي صَلاتِهِ، أَنَّهُ خَرَّ بَعْدَ رُكُوعِهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَمَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ وَوَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Kami menghapal dari ‘Umar dalam shalatnya, bahwasannya ia turun setelah rukuknya dengan kedua lututnya sebagaimana turunnya onta dan meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar, no. 961; sanadnya shahih]


2. Turun Tangan Terlebih Dahulu

Dalil yang digunakan antara lain adalah dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا سَجَدَ فَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila kalian sujud, hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” (Al-Bukhaariy dalam At Taarikh Al-Kabiir 1/139)

Dari hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya onta. Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” (Abu Daud 840, Bayhaqi 2739)

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إذا سجَدَ أحدُكم فلا يَبرَكْ كما يَبرُكُ الجَملُ، ولْيَضَعْ يدَيْه، ثمَّ رُكبتَيْه
“Apabila salah seorang di antara kalian sujud, maka janganlah ia menderum seperti menderumnya onta. Dan hendaklah ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya” (Abu Daud 840, An Nasai 1091, Ahmad 8955, lafadznya dari Ahmad)

Ada kalimat yang menggunakan kata onta dengan kata الْبَعِيرُ (Al Ba’iir) dan satunya dengan kata الجَملُ (Al Jamal), pengertiannya sama-sama onta. Akan tetapi kata Al Ba’iir itu biasanya digunakan untuk penyebutan onta pengangkut barang-barang bawaan, sedangkan Al Jamal adalah onta pada umumnya.


PENJELASAN :

Kelompok yang berpendapat lutut terlebih dahulu beranggapan bahwa, onta turun itu tangan terlebih dahulu baru kemudian anggota tubuh yang lainnya. Sehingga mereka menganggap terbalik jika hadits tersebut menyebutkan tangan terlebih dahulu. Dan kemudian mengkritisi matan (materi) hadits tersebut, sehingga mereka menganggap hadits tersebut dhoif karena matan hadits tersebut salah.

Sedangkan yang berpendapat tangan terlebih dahulu menganggap hadits turun tangan terlebih dahulu penguatnya banyak, baik dari Imam Al Bukhori di atas juga dari yang lainnya. Bagi mereka dalam sisi sanad, hadits dari Wail bin Hujr tentang turun lutut terlebih dahulu dari sisi sanadnya ada kelemahannya (dhoif). Dari beberapa jalur periwayatan, selalu ada kelemahan (dhoif) di dalamnya.

Adapun penjelasan tentang onta menderum, bahwa onta menderum itu dengan lutut terlebih dahulu. Karena onta memiliki 4 kaki, sehingga onta memiliki 4 lutut baik lutut depan maupun lutut belakang. Dan lutut tersebutlah yang akan diletakkan di tanah terlebih dahulu sebelum anggota tubuh yang lain. Sehingga benarlah hadits tersebut, jangan turun dengan lutut terlebih dahulu karena onta menderum dengan lututnya terlebih dahulu. Begini penjelasan ulama tentang kaki onta :

– Berkata Ath-Thahawy:
وَذَلِكَ أَنَّ الْبَعِيرَ رُكْبَتَاهُ فِي يَدَيْهِ ، وَكَذَلِكَ كُلُّ ذِي أَرْبَعٍ مِنْ الْحَيَوَانِ وَبَنُو آدَمَ بِخِلَافِ ذَلِكَ ؛ لِأَنَّ رُكَبَهُمْ فِي أَرْجُلِهِمْ لَا فِي أَيْدِيهِمْ فَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ الْمُصَلِّيَ أَنْ يَخِرَّ عَلَى رُكْبَتَيْهِ اللَّتَيْنِ فِي رِجْلَيْهِ كَمَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ عَلَى رُكْبَتَيْهِ اللَّتَيْنِ فِي يَدَيْهِ ، وَلَكِنْ يَخِرُّ لِسُجُودِهِ عَلَى خِلَافِ ذَلِكَ فَيَخِرُّ عَلَى يَدَيْهِ اللَّتَيْنِ لَيْسَ فِيهِمَا رُكْبَتَاهُ بِخِلَافِ مَا يَخِرُّ الْبَعِيرُ عَلَى يَدَيْهِ اللَّتَيْنِ فِيهِمَا رُكْبَتَاهُ
“Dan yang demikian itu karena kedua lutut unta ada di kedua tangannya (kaki depan), demikian pula semua hewan yang memiliki 4 kaki. Sedangkan anak Adam sebaliknya, lutut-lutut mereka ada di kaki, bukan di tangan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang shalat –di dalam hadist ini- dari turun sujud dengan bertumpu pada kedua lutut yang ada di kakinya seperti unta yang mau turun menderum dengan bertumpu pada kedua lutut yang ada di kedua tangannya. Akan tetapi hendaknya turun sujud bukan dengan cara seperti itu, yaitu hendaknya turun sujud dengan bertumpu pada kedua tangan, dimana kedua tangan (manusia) tidak ada lututnya. Ini berbeda dengan unta , dimana dia turun dengan bertumpu pada kedua tangan yang ada lututnya ” (Syarh Musykil Al-Atsar 1/169, Mu’assatur Risalah)

– Berkata Ibnul-Mandhuur rahimahullah :
ورُكبةُ البعيرِ في يدِهِ وقد يقال لذواتِ الأَربعِ كُلها من الدَّوابِّ رُكَبٌ ورُكْبَتا يَدَيِ البعير المَفْصِلانِ اللَّذانِ يَليانِ البَطْنَ إِذا بَرَكَ وأَما المَفْصِلانِ الناتِئَانِ من خَلْفُ فهما العُرْقُوبانِ وكُلُّ ذي أَربعٍ رُكْبَتاه في يَدَيْهِ وعُرْقُوباهُ في رِجْلَيه
“Dan lutut onta terletak di tangannya. Dikatakan lutut untuk binatang berkaki empat terletak di keempat kakinya. Dan dua lutut pada dua tangan onta merupakan dua persendian yang terletak di bawah perut ketika menderum. Adapun dua persendian yang terletak di belakang disebut ‘urquub. Dan setiap hewan berkaki empat, kedua lututnya terletak di kedua tangannya (kaki depan), dan kedua ‘urquub-nya terletak di kaki (belakang)-nya” (Lisaanul-‘Arab, hal. 1714-1715)


Catatan :

Berdasarkan dalil-dalil dan penjelasan tersebut di atas, menurut hemat kami adalah tidak perlu saling hujat dikarenakan perbedaan tersebut. Karena pendapat yang mengatakan turun dengan lutut juga ada penguatnya dari atsar shahabat Umar bin Khotthob tersebut di atas. Walaupun riwayat dari Wail bin Hujr banyak yang melemahkannya, akan tetapi atsar dari Umar adalah shahih.

Atsar tersebut menjelaskan adalah hal yang umum bahwa shahabat ada yang telihat mengamalkan turun dengan lutut terlebih dahulu. Bisa jadi sesekali terlihat oleh shahabat bahwa Rasulullah pun pernah turun dengan lututnya terlebih dahulu.

Begitu juga pendapat yang turun tangan terlebih dahulu, juga diterangkan oleh dalil yang shahih dan banyak sehingga bisa saling menguatkan. Juga tentang penjelasan tata cara turunnya unta, bahwa ternyata unta turun dengan lutut terlebih dahulu. Sehingga larangan turun seperti turunnya unta pun menjelaskan bahwa adanya larangan turun dengan lutut terlebih dahulu. Wallohu a’lam..

Bila digabungkan semua dalil-dalil yang ada adalah bahwa larangan yang ada itu bukan larangan yang jatuh pada hukum haram (makruh tahrim), bisa jadi itu hanya sekedar tidak disukai (makruh tanzih). Rasulullah pernah melakukan hal yang berbeda dengan larangannya, bertujuan agar umatnya tahu bahwa itu bukan sesuatu yang jatuh pada hukum haram.

Mungkin dalam beberapa kondisi, entah dikarenakan sakit dan lemah atau dikarenakan sudah tua yang menyebabkan seseorang tidak bisa melakukan sesuatu gerakan sholat dengan sempurna. Sehingga ada kelonggaran dalam hal tersebut, tujuannya adalah agar tidak memberatkan umatnya. Wallohu a’lam..

Sholatnya Orang Sakit

Dalam beberapa keadaan, sakitnya seseorang bisa menyebabkan ia tidak bisa sempurna dalam melaksanakan sholat. Keadaan seperti tersebut dalam Islam adalah amat sangat dimaklumi, sesuai firman Allah Ta’ala,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Sehingga dalam Islam ada beberapa hal yang diatur berkenaan tentang sholatnya orang yang sakit, yakni sholat yang disesuaikan dengan keadaan orang tersebut. Beberapa kemudahan tentu saja diberikan dalam aturan tersebut, kemudahan menurut kesanggupan orang yang sakit itu. Hal ini sesuai firman Allah Ta’ala,

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Qs. At-Taghaabun/64:16)”

Beberapa kemudahan tersebut tidak lantas mengurangi pahala ibadahnya, seperti sabda Rasulullah :

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila seorang hamba sakit atau bepergian (safar), dicatat (amalannya) seperti apa yang dikerjakannya ketika dia bermukim dan sehat.’” (HR Bukhari 2996, Ahmad 19753)

Kemudahan yang Alloh berikan tentu juga ada syariat yang mengaturnya, agar pelaksanaannya tidak semaunya sendiri. Aturan-aturan yang di atur bagi orang sakit dalam melaksanakan sholat antara lain :


1. Sholat sambil Duduk Atau Berbaring, hal ini didasarkan oleh hadits dari ‘Imrân bin al-Hushain :

كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara sholatnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaring (di atas janbin/samping/lambung)” (HR al-Bukhari no. 1117, Abu Daud 952, At Tirmidzi 372, An Nasai 1660, Ibnu Majah 1223, Ahmad 19819)

Berdasarkan dalil di atas, shalat bisa dilakukan dengan :

1.a. Berdiri Jika Mampu

Sekiranya penyakit tersebut tidak menghalangi seseorang untuk melaksanakan dengan berdiri, maka sholat dengan berdiri adalah lebih utama. Bahkan jika berdiri tersebut harus dilakukan dengan cara bersandar sekalipun, sesuai dengan hadits yang diceritakan oleh Ummu Qais radhiallahu ‘anha yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah maka beliau memasang tiang di tempat sholatnya untuk menjadi sandaran. (HR Abu Daud 948, At Thabrani 25/177) no. 434, Al Hakim 975, lafadznya dari Abu Daud)

1.b. Jika Tidak Mampu Berdiri Maka Sholat Dengan Duduk

Cara duduk yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah adalah dengan cara bersila, seperti dalil dari ‘Aisyah :

رأيتُ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ يُصلِّي مُتَرَبِّعًا
“Saya telah melihat Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melaksanakan shalat dengan duduk tarabbu’ (bersila)”. (HR An Nasai 1661,Ibnu Khuzaimah 1238, At Thahawi dalam Syarh Musykil al-Atsar 5235)

Jika duduk tarabbu’ (bersila) tidak bisa dilaksanakan karena berbagai keadaan, maka duduklah iftirasy. Keadaan sulit duduk tabarru’ semisal saat shalat berjamaah duduknya mengganggu jamaah sebelahnya (karena kaki melebar ke sebelah) atau sebab keadaan yang lainnya. Duduk iftirasy adalah duduk dalam sholat yang diajarkan Rasulullah, kecuali dalam rakaat terakhir saat shalat yang 4 rakaat (tawarruk).

Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

1.c. Jika Tidak Mampu Duduk Maka Boleh Berbaring miring di atas janbin (sisi/samping)

Menilik kata yang digunkakan adalah عَلَى جَنْبٍ (di atas janbin), جَنْبٍ dalam bahasa Arab berarti sisi atau samping. Maka berbaring yang diutamakan adalah berbaring ke samping (miring). Hal ini dapat menjadikan orang yang sakit tersebut bisa menghadap ke kiblat. Seperti halnya mayat yang dibaringkan di liang kubur, dimiringkan menghadap ke arah kiblat.

Si sakit diusahakan agar tetap bisa menghadap kiblat, sehingga perintahnya adalah berbaring ke samping menghadap kiblat. Jika tidak bisa miring ke kanan, ya bisa miring ke kiri jika ke kiri itu adalah kiblatnya.

Seandainya itu pun tidak bisa dilakukan karena tidak bisa tidur miring, maka kakinya yang diselonjorkan ke arah kiblat sehingga tubuhnya mengarah ke kiblat. Jika itu pun tidak bisa dilakukan krn kesulitan menggeser tempat tidur maupun menggeser orangnya, maka tidak masalah menghadap ke mana saja. Sesuai firman Allah :

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs. At-Taghaabun/64:16)


2. Sholat di atas bumi jika masih mampu, berdasarkan hadits dari Jâbir yang berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَادَ مَرِيْضًا فَرَآهُ يُصَلِّي عَلَى وِسَادَةٍ فَأَخَذَهَا فَرَمَى بِهَا، فَأَخَذَ عُوْدًا لِيُصَلِّي عَلَيْهِ فَأَخَذَهُ فَرَمَى بِهِ، قَالَ: صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْمَاءً وَاجْعَلْ سُجُوْدَكَ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِكَ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjenguk orang sakit lalu melihatnya sholat di atas (bertelekan) bantal, lalu beliau mengambilnya dan melemparnya. Lalu ia mengambil kayu untuk dijadikan alas sholatnya, lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan melemparnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sholatlah di atas tanah apabila ia mampu dan bila tidak maka dengan isyarat dengan menunduk (al-Imâ’) dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.” (HR Al Bazzar dalam Kasyful Astar 1/275, Al Bayhaqi dalam As Sunan AL Kabir 2/306, Abu Na’im dalam Hilyatul Awliyaa’ 7/92)

Sehingga diusahakan tubuh kita langsung duduk di atas bumi, di lantai atau tempat sujud kita. Kecuali jika memang tidak mampu untuk dudukdi bumi secara langsung, maka diperbolehkan menggunakan alat untuk tempat sholatnya.

Dengan sholat seperti itu, yakni tidak dengan alas yang tebal, akan menyebabkan seluruh tulang yang diperintahkan untuk menempel pada tempat sujud dapat menempel tanpa terhalang.

Posisi duduk dalam sholat pada saat sakit itu hanya menggantikan posisi berdiri, sehingga tidak menghilangkan syariat sujudnya. Jika orang yang sakit masih bisa sujud, maka dia harus sujud seperti yang disyariatkan. Yakni syariat sujud yang berdasarkan hadits Ibnu Abas Radhiyallahu ‘anhu :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرِّجْلَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk bersujud pada tujuh anggota badan: kening -dan beliau menunjuk dengan tangannya pada hidungnya-, kedua tangannya, dan kedua kakinya, serta ujung kedua kedua telapak kakinya. (HR Al Bukhori 812, Muslim 490, An Nasai 1097, At Tirmidzi 273, Ibnu Majah 883, Ahmad 2777, lafadznya dari Muslim)

Jika sujud dengan sempurna pun tidak mampu, maka tidak menjadi masalah jika menggunakan isyarat seperti dalam dalil di atas. Yakni isyarat dengan menunduk dan menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku’nya.


3. Boleh Menjama’ Sholat Jika Tidak Memungkinkan Untuk Selalu Sholat Pada Waktunya

Dari Ibnu ‘Abbaas Radhiyallahu anhu beliau berkata :

صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ “، قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar bukan karena ketakutan maupun safar. Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada Sa’iid : ‘Mengapa beliau melakukannya ?’. Ia (Sa’iid) berkata : ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia menjawab : ‘Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak menyusahkan seorang pun di kalangan umatnya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 705)

Juga berdasarkan hadits dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu beliau berkata :

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ قِيْلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ
أخرجه مسلم (705)، وأبو داود (1211)، والترمذي (187)، والنسائي (602)، وأحمد (3323)
“Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama antara Zhuhur dengan Ashar dan antara Maghrib dengan Isya’ di Madinah tanpa sebab takut dan hujan.” Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau menjawab, “Agar tidak memberatkan ummatnya.” (HR Muslim 705, Abu Daud 1211, At Tarmidzi 187, An Nasai 602, Ahmad 3323)

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa hadits itu ditakwil pemahamannya untuk orang yang sakit :

وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ الْمَرَضِ
“dan hadits Ibnu Abbas kami haml (bawa) maknanya untuk keadaan sakit” (Al-Mughni 2/250)

Rasulullah pernah melakukan jama’ pada saat tidak sedadng kondisi ketakutan, tidak safar pun tidak dikarenakan hujan yang deras. Hal ini bertujuan agar tidak memberatkan umatnya yang sedang tertimpa suatu keadaan yang menyulitkannya utuk shalat tepat waktu, salah satunya adalah sakit.

Wallohu a’lam..

Anak Yang Disembelih Ibrahim Menurut Bible

Peristiwa Pengorbanan Anak Abraham Menurut Bible

Untuk memperjelas pemaparan maka akan saya buatkan alur cerita, dan akan kita mulai dari isi Bible tentang siapa Hagar dan Ismail. Hingga kemudian berikutnya informasi lokasi pengorbanan, yang pada akhirnya kita bisa menyimpulkan tentang siapa yang dikorbankan tersebut.


1.Perkawinan Abraham dilakukan secara sah. Jadi Ismail juga anak sah Ibrahim.

Dan Abram mendengarkan perkataan Sarai. Jadi Sarai, isteri Abram itu, mengambil Hagar, hamba-nya, orang Mesir itu, — yakni ketika Abram telah sepuluh tahun tinggal di tanah Kanaan –, lalu memberikannya kepada Abram, suaminya, untuk menjadi ISTERINYA.” (Kejadian 16:1-3)

Diperjelas dengan penjelasan dalam Tarqum Rashi (Rabbi Salomo bar Yitzchak) :

Sarah told her: “Happy are you, in that you will cleave to a holy body [Abraham].” Sarah gave her to Abraham, not to another, and to be a wife, not a concubine.
“Sarah berkata kepadanya: Berbahagialah dirimu, karena kamu akan bersatu dengan tubuh yang suci. Sarah memberikannya kepada Ibrahim, bukan kepada orang lain, sebagai istri, bukan sebagai selir.” (Genesis Rabbah 45:3)

Diperjelas dalam Nachmanides Genesis 16:3 (רמב“ן בראשית פרק טז, ג),
ולכך אמר לו לאשה – שלא תהיה כפלגש רק כאשה נשואה לו. וכל זה מוסר שרה והכבוד שהיא נוהגת בבעלה:
Therefore it says “to him as a wife” – so she will not be a concubine but rather as a wife married to him. And all this [demonstrates] Sarah’s moral standards and the respect she shows her husband.


2. Ismail Anak Abraham :

Lalu Hagar melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abram dan Abram menamai anak yang dilahirkan Hagar itu Ismael. (kej. 16:15)

Setelah itu Abraham memanggil Ismael, anaknya, dan semua orang yang lahir di rumahnya, juga semua orang yang dibelinya dengan uang, yakni setiap laki-laki dari isi rumahnya, lalu ia mengerat kulit khatan mereka pada hari itu juga, seperti yang telah difirmankan Allah kepadanya. Abraham berumur sembilan puluh sembilan tahun ketika dikerat kulit khatannya. Dan Ismael, anaknya, berumur tiga belas tahun ketika dikerat kulit khatannya. Pada hari itu juga Abraham dan Ismael, anaknya, disunat. (Kejadian 17 :23-27)

Dan anak-anaknya, Ishak dan Ismael, menguburkan dia dalam gua Makhpela, di padang Efron bin Zohar, orang Het itu, padang yang letaknya di sebelah timur Mamre, (Kej. 25:9)

Tetapi keturunan dari hambamu itu juga akan Kubuat menjadi suatu bangsa, karena iapun anakmu.” ()Kejadian 21;13)


3. Ismail Anak Sulung Abraham, Sehingga Pada Saat Ishaq Belum Lahir Maka Ismail Adalah Anak Tunggal. Dan Yang Dikurbankan Adalah Anak Tunggal.

Kejadian 16 : 16 Abram berumur delapan puluh enam tahun, ketika Hagar melahirkan Ismael baginya.

Kejadian 21 : 5 Adapun Abraham berumur seratus tahun, ketika Ishak, anaknya, lahir baginya.

Abraham usia 86 Tahun: Ismail Lahir
Abraham 100 : Ishak Lahir
Jadi Ismail berusia 14 tahun, Ishak baru lahir

Sehingga akan terjadi kontradiksi jika Ishaq disebut sebagai anak tunggal yang akan dikorbankan, padahal menurut data di atas seharusnya Ismail. Kontradiksi dan inkonsistensi semacam ini menyebabkan Bible menjadi kitab yang amburadul, coba perhatikan :

Firman-Nya: ”Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” (Kejadian 22: 2)

Kalimat : ” yakni Ishak..” tampak sekali merupakan kalimat sisipan yang dipaksakan, karena nantinya itu akan menambah daftar cacat kitab Bible. Kontradiksi dan inkonsistensi Bible akan menjadi semakin amat sangat banyaakkk sekali, bahkan menurut beberapa pakar sudah ada ribuan ayat yang error. Salah satu contoh kontradiksi dan inkonsistensi adalah seperti di bawah ini :

Umur Raja Ahazia

• Raja-Raja II pasal 8 ayat 26
“Adapun umur Raja Ahazia pada masa ia naik raja itu dua puluh dua tahun, maka kerajaanlah ia di yerussalem setahun lamanya, adapun nama bunda-bunda baginda itu Atalia anak Omri raja orang Israil”.

• Tawarikh II pasal 22 ayat 2
“Adapun umur Ahazia pada masa ia naik raja itu empat puluh dua tahun, dan kerajaanlah ia di Yerussalem setahun lamanya, maka nama bunda baginda itu Atalia anak Omri”.

Satu ayat menceritakan umur Ahazia saat ia menjadi raja adalah 22 tahun dan satunya lagi mengatakan 42 tahun. Itu hanya satu di antara sekian banyak lainnya lagi, yakni kondisi inkonsistensi dan kontradiksi satu ayat dg ayat yang lain di dalam Bible. Artinya pencatatan dalam Bible memang terbukti banyak sekali kontradiksi dan inkonsistensi, sehingga akan sangat mudah sekali ditemukan kontradiksi dan inkonsistensi tersebut.

Begitu juga ambil contoh dalam kisah Ismail yang lainnya, menurut Bible Hagar dan Ismail diusir Sarah pada saat Ishaq sudah disapih. Selisih usia Ismail dan Ishaq adalah 14 tahun ditambah masa sapih 2 tahun berarti usia Ismail saat diusir Sarah sekitar 16 tahun. Akan tetapi Bible menceritakan bahwa Ismail saat diusir ditaruh di pudak ibunya, seorang wanita tua. Sedangkan Ismail sendiri sudah remaja dewasa dan bahkan beliau sudah bisa menggendong ibunya.. Masuk akal ? 😀 😀

Ia meletakkan itu beserta anaknya di atas bahu Hagar, kemudian disuruhnyalah perempuan itu pergi. Maka pergilah Hagar dan mengembara di padang gurun Bersyeba. (kejadian 21;14)

Seorang wanita mengembara dengan menggendong anak umur 16 tahun di pundaknya ??? 🙂 🙂 .. Begitulah kerancuan Bible yang terpapar penuh kontradiksi dan inkonsistensi.. Masih banyak lagi jika mau..


4. Informasi Lokasi Peristiwa :

Mari kita lanjut dg kejanggalan berikutnya, yakni LOKASI dalam peristiwa tersebut..

ABRAHAM BERKURBAN di :
1. Hebron (Kanaan) domisili Sarai dan Ishak.. ataukah
2. BESYERBA domisili Hagar dan Ismael…( setelah diusir ).

Secara rinci dpt dijelaskan sbb :

Abraham mengadakan perjanjian dg Abimalek di BERSYEBA. Kemudian raja itu kembali ke Fillistin ( Palestina), tetapi Ibrahim tetap berada Di BERSYEBA, daerah tempat tinggal Hagar dan Ismael.
Pada pasal 22 langsung disebutkan bahwa Abraham mendapat perintah dr Allah utk menyembelih anak tunggalnya., berarti ketika itu Abraham msh berada di BERSYEBA. Setelah melaksanakan penyembelihan yg diganti domba di bukit Moria, Abraham kembali ke BERSYEBA ( Kej 22:19).

Perhatikan ayatnya:

Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”( Kejadian 22:2)

Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya ( Kejadian 22:3).

Kata ” keesokan harinya”, berarti posisi Abraham memang di Byserba.. Lalu kalimat berikut: “lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya”, kalimatnya tidak mengatakan ke Kanaan dulu utk mengambil Ishak, karena Ishak tinggal di Kanaan, artinya Abraham berangkat dg anak yang ada di Byserba, bukan anak yg di Kanaan.

SETELAH PERISTIWA PENGKORBANAN : Kejadian 22:19. ” Kemudian kembalilah Abraham kepada kedua bujangnya, dan mereka bersama sama berangkat ke Bersyeba, dan Abraham tinggal di BERSYEBA.

KESIMPULAN : yg akan disembellih adalah Ismail. Sebab kalau anak itu Ishak, berarti Abraham akan mengembalikan kpd ibunya di Kanaan, krn Sara tinggal di Kanaan bahkan sampai matinya Sarah tetap di sana. Tidak ada ayat yg menyebutkan , bahwa Sara, ibunda Ishak, meninggalkan Kanaan. Ini dpt ditunjukkan dari kalimat LALU ABRAHAM DATANG MERATAPI.

Kejadian 23:2 Kemudian matilah Sara di Kiryat – Arba, yaitu Hebron, di tanah Kanaan, lalu Abraham datang dan meratapi

Saya cuplikkan dialog debat..
Bersyeba juga kata kunci peristiwa Qurban.

Pdt. Dr. Suradi ben Avraham ketika dialog dg guru kita Allahumma yarhamhu KH. Theodorus Wasi’an mati langkah saat almarhum bertanya kepada Suradi sbb :
AW : Dimanakah perintah ini turun pak
SbA : di Bersyeba
AW : siapa anak Ibrahim yg ada di Bersyeba pak doktor Suradi
SbA : Ismail
AW : Kenapa koq berubah jd Ishaq di Genesis 22:2 pak doktor
SbA : nah ini yg belum saya pelajari kyai
😇😇😇

Skak Mat

Lalu Suradi mencoba ngelles
SbA : tapi kyai, bisa jadi saat itu Ishaq jg ada di sana
AW : aah pak doktor kok menprediksi sesuatu yg mustahil terjadi
SbA : kok mustahil… maksud kyai
AW : coba pak Dr. Suradi telaah alkitab, kenapa Hagar dan Ismail meninggalkan Sara dan Ishaq.
Jadi hil yg mustahal kalau Sara akan izinkan Ishaq ikut mereka ke Bersyeba. Bagaimana pak Ev. Dr. Suradi ?
SbA : Ya kyai, ini jg belum saya pelajari

Dari pemaparan di atas sudah jelas sekali bahwa, Hagar istri sah Ibrahim dan Ismail adalah anak sah Ibrahim. Sebelum lahirnya Ishaq, maka Ismail adalah anak satu-satunya Ibrahim (tunggal). Kejadian perintah pengkorbanan terjadi di Bersyeba (tempat tinggal Hagar dan Ismail) dan bukan di Hebron (tempat tinggal Sarah dan Ishaq).

Ibrahim berangkat dari Bersyeba dan memulangkan anak itu ke Bersyeba, yakni memulangkan ke tempat tinggal anak tersebut. Jika anak itu Ishaq maka akan dipulangkan ke Hebron (Kanaan). Masuk akal ?!

Dibalik kerancuan tulisan-tulisan dalam Bible yang terpapar inkonsistensi dan kontradiksi, masih bisa juga diurai benang merah kisah-kisah pengkorbanan anak Abraham dalam Bible. Semoga mencerahkan..